PAKAIAN ADAT JAMBI DAN KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT JAMBI



MAKALAH
PAKAIAN ADAT JAMBI DAN KEPEMIMPINAN
DALAM MASYARAKAT JAMBI
DOSEN PENGAMPU:
 ASWAN EFENDI, S.Pd.




DISUSUN OLEH :
MILA AGUSTIN : T.PAI.1.2016.045
DEVI MARZALIA : T.PAI.V.2017.087
AZIZAH : T.PAI.V.2017.055
ERMIA WATI : T.PAI.V.2017063
ELISTIANI : T.PAI.V.2017085
TAJRI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SYEKH MAULANA QORY (STAI SMQ) BANGKO
TAHUN PELAJARAN 2018

KATA PENGANTAR
     Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa penulis dapat menyelesaikan tugas Pkn yang membahas tentang Hak dalam Deklarasi Kairo. Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, kerabat atau teman-teman kami dan Bapak Aswan Efendi selaku dosen mata kuliah Pkn, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Aswan Efendi , teman-teman yang telah membantu sehingga makalah ini dapat selesai. Tak kalah pentingnya, rasa sayang dan terima kasih penulis haturkan kepada ayah dan ibu yang senantiasa mendo’akan dan memberikan dukungannya. Kritik dan saran demi perbaikan makalah ini sangat diharapkan dan akan diterima dengan lapang dada. Dan akhirnya semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan pembelajaran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.






Penulis,








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Provinsi Jambi adalah salah satu provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi ini mayoritas dihuni oleh masyarakat dari suku Melayu. Kebudayaan melayu melekat erat dalam kehidupan masyarakatnya ini. Salah satu kebudayaan yang hingga sekarang masih dapat kita temukan adalah warisan pakaian adat yang menjadi ciri khas adat masyarakatnya.
Baju adat/pakaian traditional di tanah air berfungsi menjadi pesan simbolis atau pesan lambang suatu wilayah tertentu. Fungsi simbolis ini mungkin dapat ditemukan di beberapa wilayah tertentu yang membedakan baju/pakaian yang dipakai oleh wanita dengan status gadis dan wanita dengan status bersuami.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara berpakaian masyarakat Jambi secara adat?
2.      Bagaimana kepemimpinan masyarakat Jambi secara adat?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui cara berpakaian masyarakat Jambi secara adat
2.      Untuk mengetahui kepemimpinan masyarakat Jambi secara adat


BAB II
PEMBAHASAN
PAKAIAN ADAT JAMBI DAN KEPEMIMPINAN
DALAM MASYARAKAT MELAYU JAMBI
A.    PAKAIAN ADA JAMBI
Provinsi Jambi adalah salah satu provinsi yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi ini mayoritas dihuni oleh masyarakat dari suku Melayu. Kebudayaan melayu melekat erat dalam kehidupan masyarakatnya ini. Salah satu kebudayaan yang hingga sekarang masih dapat kita temukan adalah warisan pakaian adat yang menjadi ciri khas adat masyarakatnya.
Baju adat/pakaian traditional di tanah air berfungsi menjadi pesan simbolis atau pesan lambang suatu wilayah tertentu. Fungsi simbolis ini mungkin dapat ditemukan di beberapa wilayah tertentu yang membedakan baju/pakaian yang dipakai oleh wanita dengan status gadis dan wanita dengan status bersuami.
Dalam berbusana kaum wanita sehari-hari pada awalnya hanya dikenal dengan kain dan baju tanpa lengan. Sedangkan kaum prianya mengenakan celana setengah ruas yang melebar pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga lebih leluasa geraknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Pakaian untuk pria ini dilengkapi dengan kopiah sebagai penutup kepala. Pada perkembangan berikutnya dikenal adanya pakaian adat. Pakaian adat ini lebih mewah daripada pakaian sehari-hari yang dihiasi dengan sulaman benang emas dan pemakaian perhiasan sebagai pelengkapnya. Pakaian adat Jambi ini bernama Pakaian Tradisional Melayu Jambi.
a. Pakaian Adat Pria 
Para pria Melayu Jambi mengenakan lacak atau penutup kepala yang terbuat dari kain beludru merah yang di bagian dalamnya diberi kertas karton. Pemberian kertas karton dimaksudkan agar kain dapat ditegakan menjulang tinggi ke atas. Sebagai hiasan, lacak umumnya akan dilengkapi dengan flora, yaitu tali runci di sisi kiri dan bungo runci di sisi kanan. Bungo runci ini dapat berupa bunga asli maupun bunga tiruan.
Adapun untuk bajunya, para pria akan mengenakan baju kurung tanggung. Dinamakan demikian karena baju ini memiliki lengan yang tanggung, panjangnya lebih dari siku tapi tidak sampai ke pergelangan tangan. Penggunaan lengan semacam ini memiliki filosofi bahwa pria Melayu Jambi harus tangkas dan cekatan saat bekerja.
Sama seperti lacak, baju kurung pun dibuat dari bahan kain beludru. Sebagai hiasan, baju ini dilengkapi dengan sulaman benang emas dengan motif kembang bertabur (tagapo) dan kembang melati di bagian tengah, dan motof kembang berangkai dan pucuk rebung di bagian sisinya. Penggunaan motif sulaman benang emas ini memiliki filosofi bahwa tanah Melayu adalah tanah yang kaya dan subur.
Sebagai celana, para pria akan menggunakan cangge atau celana biasa yang terbuat dari bahan beludru juga. Sebagai pelengkap, sarung songket dililitkan ke pinggul. Untuk menguatkan ikatan sarung, sabuk kuningan akan dipasang melingkar di pinggul sekaligus sebagai tempat menyelipkan keris yang menjadi senjata tradisional Jambi.
Selain perlengkapan-perlengkapan tersebut, pakaian adat Jambi untuk pria juga dilengkapi dengan beberapa aksesoris di antaranya tutup dada yang berbentuk seperti bunga teratai. Gelang kilat bahu berwarna emas atau perak yang berlukiskan naga, selendang tipis merah jambu dengan rumbai-rumbai kuning di bagian ujungnya, serta selop sebagai alas kaki.
b. Pakaian Adat Wanita 
Hampir sama dengan pakaian pria, pakaian adat Jambi untuk wanita juga berupa baju kurung yang terbuat dari bahan kain beludru. Teratai dada (tutup dada), selendang, pending dan sabuk (ikat pinggang), dan selop yang dikenakan juga sama. Akan tetapi, khusus pada wanita, sarung songket dan selendang merah dari tenunan benang sutra biasanya juga dikenakan sebagai pelengkapnya.
Sebagai mahkota atau penutup kepala, wanita Jambi mengenakan pesangkon yang diberi hiasan logam berwarna kuning dengan bentuk menyerupai duri pandan. Secara sederhana, pesangkon pada kepala wanita adat Jambi.
Selain perlengkapan di atas, pakaian adat Jambi untuk wanita juga dilengkapi dengan beragam aksesoris yang jumlahnya lebih banyak, mulai dari kalung, gelang tangan, gelang kaki, hingga anting-anting.
  1. Kalung terdiri dari tiga jenis, yaitu kalung tapak, kalung jayo, dan kalung rantai sembilan.
  2. Cincin terdiri dari 2 jenis, yaitu cincin kijang dan cincin pacat kenyang. 
  3. Anting-anting terdiri dari 2 jenis, yaitu yang bermotif kupu-kupu atau berupa gelang banjar.
  4. Gelang tangan terdiri dari 4 jenis, yaitu gelang kilat bahu, gelang kano, gelang ceper, dan gelang buku beban. 
  5. Gelang kaki terdiri dari 2 jenis, yaitu gelang nago betapo dan gelang ular melingkar.

B.     KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT JAMBI
Menurut adat Melayu Jambi untuk menjadi seorang pemimpin itu paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1.      Jujur dan adil, artinya menjunjung tinggi cupak dan gantang ; Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur.
2.      Cerdik, artinya cerdik idak membuang kawan, gemuk idak membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang idak melilit.
3.      Pandai, artinya meletakan sesuatu pada tempatnya ; Orang buto peniup lesung, Orang pekak pelepas bedil, orang lumpuh penunggu rumah, Orang patah pengejut ayam, Orang buruk pelantun dune, Kain baju peneding miang, Emas perak peneding malu, Idak ado bergs atah dikisai.
4.      Menjunjung kebenaran, artinya Bekato benar bejalen lurus, Memakai suci memakan halal.
5.      Arif Bijaksana, artinya Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu sepatah, netak mutus, Makan ngabisi.
6.      Tempat Betanyo, artinya pergi tempat betanyo, Balik tempat beberito.

Di samping itu dalam sloko adat Melayu Jambi dikenal adanya 7 macam pimpinan yang tidak disenangi.
1.      Pimpinan Di Ujung Tanjung, adalah pimpinan yang suka mengambil muka, berdusta dan berdiri di atas penderitaan teman, dan suka mengaku sebagai pahlawan.
2.      Pimpinan Ayam Gedang, adalah pimpinan yang suka menonjolkan tuahnya atau kemampuannya, padahal tak ubahnya seperti ayam berkotek saja tak pernah bertelur. Ia adalah pimpinan elok bungkus pengikat kurang.
3.      Pimpinan Buluh Bambu, adalah pimpinan yang mengutamakan penampilan luar, kosong di dalam, namun hilir mudik membanggakan dirinya sebagai seorang pimpinan.
4.      Pimpinan Ketuk-Ketuk, adalah pimpinan yang tidak memiliki keberanian membela masyarakat; is akan berbuat bilamana di desak.
5.      Pimpinan Busuk Aring, adalah pimpinan berhati licik, curang, serakah, melilit orang, korup, kadangkala mau menjual keluarga dan sahabatnya.
6.      Pimpinan Pisak Celano, adalah pimpinan yang suka kawin cerai, bila melihat wanita cantik maka hatinya tergiur untuk mengawininya kemudian ia ceraikan.
7.      Pimpinan Tupai Tuo, adalah pimpinan berhati minder atau rendah diri, dan tidak berani tampil ke gelanggang.
Kepimimpinan dalam Adat Melayu Jambi sangat penting sekali, Karena pemimpin adat adalah apa yang diinginakn dari bawah, mekanisme kepemimpinan dalam masyarakat ini ada hubungannya dengan jenjang/tata urusan pemerintah.
Pimpinan pada hakekaktnya hanya memberikan ketetapan  atau memutuskannya, kepemimpinan ini mencerminkan kepemimpinan yang sangat demokratis, sehingga setiap keputusan yang dibuat dan diteapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat, pengaturan demikian ini juga tercermin dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat.
Untuk mendapatkan pimpinan yang diinginkan, diadakan pemilihan yang diatur dengan syarat-syarat tertentu, adapun sebutan pimpinan dalam masyarakat hukum adat antara lain :




1.      Tengganai.

Tengganai adalah saudara laki-laki dari suami istri, tengganai ada dua bagian.
1.      Tengganai dalam atau perboseso, yaitu saudara laki-laki dari pihak istri.
2.      Tengganai luar atau perbuali yaitu saudara laki-laki dari pihak suami Tengganai berhak dan berkewajiban menyusun yang silang, menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang keruh segala hal-hal yang terjadi dalam keluarga yang dipimpinnya. Tengganai juga berkewajiban membentengkan dado, berkatokan betis, bertumpuh ditempat tajam, berada di tempat hangat, mencincang putus, memakin babis dan bertanggung jawab penuh dalam keluarga.

2.      Tuo Tengganai.

Tuo Tengganai adalah orang tua-tua dari sekumpulan tengganai tengganai dari keluarga atau kalbu dalam mata kampung/ desa/dusun/kelurahan. Tuo tengganai berkewajiban mengarah mengajum, tukang tarik dan jaju, menyelesaikan yang kusut, mengajum anak dan makan habis, mancung mutus dalam kalbu yang dipimpinnya. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tuo tengganai selalu berpedoman kepada “Adat nan lazim, pusako nan kawi, adat nan bersendikan sarak, sarak bersendikan kitabullah”.

3.      Nenek Mamak.

Nenek mamak merupakan gabungan tuo-tuo tengganai dalam suatu wilayah, yang terdapat dalam kampung/dusun/desa/kelurahan, sedangkan untuk daerah kabupaten Tanjung Jabung disebut “Datuk”, Tugas dan kewajiban nenek mamak adalah mengarah, mengajukan, menyelesaikan yang kusust,m menjernihkan yang keruh, menarik menaju, memakan habis, memancung putus bagi setiap persoalan yang tidak dapt diselesaikan oleh tuo-tuo tengganai. Dalam melaksanakan tugas dan keuptusan masyarakat selalu diambil jalan musyawarah untuk mufakat seperti kata adat “Bulat air dek pembuluh, bulat kato dek mufakat” disamping itu nenek mamak juga berperan “Sebagai kayu gedang dalam negeri” rimbun tempat berteduh, gedung tempat bersandar, pergi tempat betanyo, balik tempat berito, menciptakan kerukunan hidup masyarakat didalam desa melalui “arah ajum, kusut menguasai, silang mematutu, keruh menjernihkan”. Adapun kewenangannya dalam adat disebutkan “berkata dulu spatah, berjalan dulu selangkah, memakan habis, memancung putus” kesemuanya yang tersebut diatas sealalu dilandasi dengan musyawarah mufakat, landasan pijak musyawarah untuk mufakat yang selalau digunakan oleh nenek mamak ini dengan acuan seperti kata bahasa adat “Bulat air dek pembuluh, bulat kato dek mufakat”.  
Kepemimpinan seperti apa yang dianggap baik atau bijaksana menurut adat,  yaitu harus memiliki beberapa persyaratan. Pertama, berpedoman pada titah Allah dan Rosul, dan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berdasarkan bahwa masyarakat Jambi dari dahulu adalah pemeluk agama Islam dan adanya perubahan pemerintahan dari dahulu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Syarat ini berdasarkan firman Allah SWT yang artinya; aku jadikan kamu raja/pemimpin supaya kamu berkata benar, memakai suci, memakan yang halal, dan menghukum yang adil. Pepatah adatnya mengatakan; beradat di ateh tumbuh, berlembago di ateh tuang. Memahat di ateh tiro, mengukir di ateh baris. Meratap di ateh bangkai, mengaji di ateh kitab.
Kedua, pemimpin harus menjadi suri teladan. Disebut juga penjaga adat yang lazim, pusako nan kawi, pemegang alur dengan patut. Pepatah adatnya mengatakan; suluh sinang dalam negeri. Menjadi suri teladan kain, cupak teladan gantang. Pemimpin sebagai tempat mengadu. Bane gedang tempat besanda. Kayu rimbun tempat beteduh. Landeh besak tempat menitip. Gedung bicaro tempat balik. Sempit tempat mengadu. Sesak tempat betenggang.
Ketiga, pemimpin harus bersifat adil dan diperlakukan sama tanpa pilih kasih. Pepatah adatnya menyatakan; tidak boleh bersisir mandi ke lumut. Besibak mandi ke kumpai. Beranak tiri beranak kandung. Ibarat membelah buluh, sebelah dipijak, sebelah ditating. Idak memakai guguk dengan tumpal, sisi dengan hinggo. Ia harus data bak lantai kulit, licin bak lantai bemban.
Keempat, pemimpin harus bersikap terbuka terhadap setiap orang. Maksudnya pemimpin yang tidak menolak setiap orang yang datang mengadukan permasalahan. Pepatah adat menyatakan; adolah rajo yang idak menolak sembah, teluk nan idak menolak kapa, buruk baik diterimonyo. 
Kelima, pemimpin dalam menghukum dan menghakam harus adil. Pepatah adat mengatakan; idak boleh betelau-telau, bak paneh dalam beluka, kareno dek duri di bawah telapak, tibo di mato dak boleh dipicingkan, tibo di perut dak boleh dikempiskan. Tibo di papan dak boleh berentak, tibo di duri dak boleh bersetengkak.
Keenam, pemimpin adalah orang yang dituakan dalam segala hal dan mengutamakan musyawarah. Pepatah adat mengatakan; kok mudik memicit siring, kok hilir memegang tepi. Tinggi disanjung, gedang diambakan. Kecik dilabuk, gedang disiang. Menghitam, memutihkan buat menentukan sisi dengan hinggo. Sepadan dengan mentaro, yang didasarkan pada bulat ayik dipembuluh, bulat kato dek mufakat.
Bila pimpinan tidak menaati pedoman itu, maka pemimpin tersebut dalam adat Jambi akan kena atau makan sumpah, dikutuk, dan celaka. Tidak hanya itu, pemimpin demikian tidak dianggap masyarakat, merana sekaligus merusak yang tidak menjadi contoh. Karena itu dalam pepatah adat disebutkan; dimakan sumpah karang setio. Keno kutuk purbakalo. Bak kerakap tumbuh di batu, bak kayu di ateh tebat. Ke bawah idak berurat, ke ateh idak bepucuk. Ditengah-tengah di rakuk kumbang. Dimakan sumpah biso kawi.
Tidak hanya itu, dalam adat Jambi pemimpin dalam menjalankan tugasnya haruslah didukung oleh keluarga (disebut anak dan kemenakannya) dan masyarakat agar aturan-aturan berjalan dengan baik, adil, dan merata. Bahkan anak kemenakan tadi terlebih dahulu harus menjunjung tinggi aturan-aturan atau menjadi teladan dalam masyarakat. Pepatah adat mengatakan; sedekuk bak batu d ipulau. Sedecing bak besi dipalu. Seilun bak kuwai leting. Sedemam bak puyuh. Seangguk bak balam. Tudung menudung bak daun sirih. Jahit menjahit bak daun petai. Jangan seperti tanduk diikat besilang siur.   
Bila tadi adalah persyaratan seorang pemimpin, maka dalam adat Jambi juga ada larangan dan pantangan yang harus menjadi pedoman bagi pemimpin dalam berprilaku. Hal sebagai jawaban dari kenyataan ada pemimpin yang membuat kekacauan dalam memimpin, menghambat keinginan-keinginan bagi pembangunan, maupun melanggar hukum dan agama. Larangan dan pantangan tersebut, dalam pepatah adat disebut burung gedang duo suaro, urang gedang berkelakuan kecik,dan titian galih dalam negeri.
Pertama, burung gedang duo suaro artinya bermuka dua, dilain tempat lain lagi bicaranya, dan tidak konsisten. Selain itu juga suka memfitnah antara satu sama lain, padahal ia pemimpin yang dihormati. Kedua, orang gedang berkelakuan kecik, artinya seorang pemimpin yang melakukan perbuatan yang tidak pantas, tidak wajar, dan hina dipandang masyarakat. Ketiga, titian galih di tengah negeri, artinya seorang pemimpin yang tidak punya pendirian, pendiriannya tidak tetap, berubah-ubah, dan pembicaraan serta pendirian yang tidak jelas yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat.


Dalam adat Melayu Jambi, pemimpin harus mempunyoi prinsip:
1.      Bekato dulu sepatah
2.      Bejalan dulu selangkah
3.      Tungku nyo nak cakah
4.      Lamannyo nak lebar
5.      Rumahnyo nak gedang
6.      Mandinyo mandi kudo

Tugas pemimpin dalam adat Melayu Jambi:
1.      Menjago agamo dan hukumnyo
2.      Menjago adat nan kawi
3.      Menjago anak kemenakan berupo larang pantang di tengah masyarakat
4.      Menjago cupak dengan gantang
5.      Mampu meletakan sesuatu pado tempat nyo: "buto pengembus lesung, patah pemecut ayam, buruk pelantan gawe, elok pelantan duneh"
6.      Bekato benar bejalan lusus, memakai suci memakan halal.

Pengetahuan yg harus dikuasai oleh pemimpin dalam adat Melayu Jambi:
1.      Cerdik idak membuang kawan
2.      Gemuk idak membuang lemak
3.      Tukang idak membuang kayu
4.      Panjang akal idak untuk melilit.



Sedangkan sifat-sifat, perangai, atau perilaku yang idak boleh dimiliki oleh seorang pemimpin dalam adat Melayu Jambi adalah:
1.      Burung kecik, ciling mato
2.      Burung gedang, duo suara
3.      Titian galing dalam negeri
4.      Membuat perahu gilo
5.      Sengelecek segan jatuh besengelak segan keno
6.      Lain dimulut lain di hati
7.      Mengunting dalam lipatan.











BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Untuk mendapatkan pimpinan yang diinginkan, diadakan pemilihan yang diatur dengan syarat-syarat tertentu, adapun sebutan pimpinan dalam masyarakat hukum adat antara lain :
Tengganai adalah saudara laki-laki dari suami istri Tuo Tengganai adalah orang tua-tua dari sekumpulan tengganai tengganai dari keluarga atau kalbu dalam mata kampung/ desa/dusun/kelurahan. Nenek mamak merupakan gabungan tuo-tuo tengganai dalam suatu wilayah, yang terdapat dalam kampung/dusun/desa/kelurahan, sedangkan untuk daerah kabupaten Tanjung Jabung disebut “Datuk”, Tugas dan kewajiban nenek mamak adalah mengarah, mengajukan, menyelesaikan yang kusut.











DAFTAR PUSTAKA

Share:

0 komentar